Snack's 1967

TAK RELA

"Sampai juga.” ucap Dewi sambil duduk dan menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu.

“Pantesan lo gemuk, Wi. Tiduran mulu…” ejek Rita yang juga mengambil posisi yang sama di samping Dewi.

Anggi si Tuan Rumah dan temannya yang satu lagi, Lisa, hanya menggeleng penuh senyum maklum. Menurut Anggi wajar saja. Perjalanan menuju rumahnya memang tidak begitu mulus. Kebanyakan wanita pasti akan kelelahan bila berkendara di jalan yang penuh gundukan pasir dan kerikil, serta jaraknya yang juga cukup jauh. Apalagi mereka yang melakukannya di malam hari. Jelas saja sangat kelelahan.

“Mau minum apa?” tanya Anggi kemudian.

“Jus sirsak ada nggak?” sahut Dewi, merespon dengan cepat.

“Iya nih. Malam ini panas banget rasanya” timbrung Rita.

“Maaf, Mba. Stoknya sudah habis.” seletuk Lisa dengan berlagak seperti karyawati supermarket yang sangat ramah. “Gi,” lanjutnya seraya menatap Anggi. “air putih dingin aja udah cukup.”

Anggi yang sedari tadi menunggu bak seorang pelayan hotel berbintang, segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air dingin dari dalam lemari es. Sekembalinya ke ruang tamu, tempat mereka berkumpul, Anggi menangkap pembicaraan teman-temannya yang mulai memanas.

“Ngapain si Reza lo putusin, Wi?” tanya Lisa dengan penasaran.

“Bosen gue. Emangnya kenapa?” Dewi balik bertanya. “Lo kasian sama dia? Kalau gitu, lo aja yang jadi pacarnya.”

“Idiiih…maunya Lisa kali, Wi.” goda Rita.

“Ih! Siapa yang mau? Bukan gitu maksud gue. Sayang aja, kan? Apalagi Bokapnya…” Lisa menggesek-gesekkan jempol dengan telunjuknya.

“Dasar matre!” seru Rita dan Dewi hampir bersamaan.

“Cowok lagi…cowok lagi… Enek gue dengernya. Mending minum nih, pesanan lo pada!” seletuk Anggi setibanya di ruang tamu.

“Ini pesanan Lisa, bukan kita!” sahut Dewi dengan menunjuk-nunjuk Rita dan dirinya.

“Tumben, Gi, lo ngajak kita nginap di rumah lo?” tanya Rita mengalihkan pembicaraan.

“Iya, nih. Bokap-Nyokap gue lagi pergi ke luar kota. Katanya sih, baru pulang besok lusa. Makanya gue ngundang lo pada. Biar rame ni rumah.”

“Bilang aja lo takut sendirian. Ya kan, Gi?” sindir Dewi.

“Rese lo, Wi! Takut apaan?”

“Iya, Gi. Barangkali aja ada kuntilanak nongol di jendela atau di depan pintu. Mana mungkin lo nggak takut. Apalagi suasana desa lo yang lengang banget ini, bikin tambah angker.” timpal Rita, coba menakut-nakuti Anggi yang pada dasarnya memang penakut.

“Iya, deh. Gue akuin, gue takut. Lagian, lo pada nggak tau ceritanya sih. Di desa gue ini, udah lama sih sebenarnya, banyak terjadi pembunuhan misterius. Korbannya ada yang dibacok, digorok, dimutilasi sampai enambelas bagian, ngeri deh pokoknya. Dan menurut hasil kajian dari kepolisian pusat, nggak ada sedikitpun bukti yang menunjukkan tanda-tanda siapa pelaku sebenarnya.”

“Punya bakat mendongeng juga ternyata lo, Gi. Sumpah! Gue hampir percaya sama kata-kata lo itu. Bener!” ucap Rita sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Gue emang suka becanda, tapi gue nggak suka bo’ong, Ta.” Jawab Anggi sedikit tersinggung.

“Udah deh. Ini malam juga udah larut. Daripada entar ada yang ngigau dan teriak-teriak tengah malam, mending kita tidur sekarang aja.” Ajak Lisa.

“Lo takut hantu juga, Sa?” Tanya Rita dengan menantang.

“Siapa yang takut? Lo nggak denger tadi, cerita Anggi itu kan tentang pembunuhan, bukan tentang hantu. Lagian, hantu itu nggak ada!” Lisa menekankan kalimat terakhirnya. “Meskipun ada,” lanjutnya. “juga nggak bakalan bisa membunuh orang. Pernah denger nggak? Orang dibunuh sama hantu. Nggak kan?”

“Jangan nantangin deh, Sa. Entar kalau ketemu hantunya baru sadar lo.”

“Terserah deh. Gue mau kebelakang dulu nih.” ucap Lisa seraya berdiri dan beranjak ke dapur.

“Eh! Mau kemana lo?” cegat Anggi ketika Lisa baru berjalan beberapa langkah.

“Ya ke WC. Masa ke kamar.”

“WC-nya nggak bisa di pakai kalau malam-malam begini. Airnya macet.”

“Terus gimana dong?”

“Pakai punya tetangga aja. Di sela-sela samping kanan rumah ini ada sedikit jalan kecil. Masuk aja, entar juga ketemu.” melihat wajah Lisa yang agak sungkan, Anggi buru-buru meyakinkannya. “Nggak apa-apa kok.” Lisa pun mau tak mau akhirnya pergi.

Sementara Lisa pergi keluar, Anggi, Rita, dan Dewi kembali malanjutkan pembicaraan mereka tentang hantu dan pembunuhan yang bisa dibilang agak jauh kaitannya, namun begitu mesra ketika kedua kata itu dihubungkan oleh satu kata, yaitu MISTERI.

Setelah beberapa saat Anggi melanjutkan ceritanya, terdengar suara gemerisik yang diikuti dentangan suara barang jatuh.

“Apaan tuh, Gi?” ucap Dewi tersentak. Anggi pun mencari dimana asal suara itu. Ia melangkah ke dapur, namun tak ada apa-apa.

“Ada apaan, Gi?” tanya Rita.

“Di sini nggak ada apa-apa. Mungkin di luar. Deket jalan ke WC tetangga itu kebetulan ada tumpukan barang-barang bekas, barangkali aja kucing tetanngga lagi ngeobrak-abrik markas si Tikus.”

“Biar gue yang periksa, Gi.” Rita mengajukan diri dengan sok berani. Padahal dalam hatinya sudah tersirat sedikit rasa takut. Dan ketika ia membuka pintu depan, muncul sesosok tubuh wanita. Kecil dan agak kurus. Begitu terkejutnya hingga ia sempat lemas, namun sesaat kemudian ia kembali ke alam sadarnya. “Lisa! Bikin kaget aja lo.”

“Elonya aja lagi yang kagetan. Emangnya lo mau ngapain? Ke belakang juga? Cepetan deh, entar keburu tengah malam loh. Takuuuuut….”

“Nggak. Gue cuma mau periksa aja. Tadi di luar ada suara aneh. Jangan-jangan…” “Jangan-jangan ada hantu maksud lo?” potong Rita dengan cepat. Ia kemudian tertawa kecil. Tangan kanannya menutupi bibir tipisnya yang merekah manis. “Itu cuma kucing, Ta. Tadi udah gue usir.”

Rita hanya mengangguk. Lalu mereka kembali masuk.

“Ada apa, Rit?” tanya Dewi ketika Rita dan Lisa datang menghampiri.

“Kucing.” sahutnya singkat.

“Betulkan gue bilang.” seletuk Anggi dari dapur.

“Syukur deh kalau gitu. Gue juga mau kebelakang ah.” dengan lega Dewi beranjak dari sofa empuknya.

Sementara Dewi keluar, mereka kembali bercerita.

“Masih ngomongin hantu, nih?” tanya Lisa ketika ia mendengar topik yang sama seperti saat sebelum ia keluar. “Udah gue bilangin juga, hantu itu nggak bisa ngebunuh orang. Paling, itu cuma rekayasa di film-film dan novel-novel aja.”

“Yah elo, Sa. Entar kalau lo bener-bener ketemu sama hantu, gue syukurin lo.” Sahut Anggi yang mulai agak jengkel dengan tingkah Lisa. Kemudian, mendadak terdengar suara gemerisik dan dentangan seperti sebelumnya. “Sialan tuh kucing! Nggak tau kalau gue lagi jengkel apa.” gerutu Anggi seraya beranjak.

“Mau ke mana lo?” tanya Rita.

“Ngehajar kucing tetangga. Biar jera tuh kucing!” teriaknya.

Ketika Anggi sampai di dekat barang-barang rongsokan bekas peralatan rumah tangga itu, rasa marahnya mendadak hilang dan tergantikan dengan rasa kaget yang teramat sangat. Bahkan mulutnya tak mampu untuk berteriak. Kakinya juga terasa lemas hingga ia terduduk tak berdaya.

“Gi!” teriak Lisa dari dalam rumah, karena merasa sudah lebih dari 15 menit Anggi tak jua kembali. Berkali-kali ia dan Rita memanggil, tapi tak ada jawaban. Mereka pun berlari keluar dengan menyandang berbagai persepsi, takut terjadi apa-apa dengan Anggi.

Sementara itu, Anggi masih terduduk lemas di tempatnya. Sebenarnya ia mendengar teriakan teman-temannya yang memanggilnya barusan. Hanya saja, mulutnya tak dapat bergerak sedikit pun. Ia tak mampu menguasai keadaan yang membuncah begitu dahsyat di dalam dirinya.

Begitu Lisa dan Rita tiba di tempat dimana Anggi terduduk lemas, mereka sama terkejutnya dengan Anggi. Mulut mereka mendadak seperti terbungkam. Kaki mereka pun juga terasa lemas. Bagaimana tidak, mereka melihat sesosok tubuh tengah menggantung tepat di atas kepala mereka bertiga. Sosok yang tentu saja sangat mereka kenal.

“Sa…” panggil Anggi dengan lemas seraya menyerahkan sepotong kertas kepada Lisa.

Tanpa bicara, dengan tangannya yang gemetar Lisa mengambil kertas itu dan membacanya. “GUE NGGAK RELA LO PUTUSIN!!!”


Download JAR atau PDF

Kembali
Home Page

Berdiri tanggal 2 Desember 2011
Penulis: Arul Gaijin